Saturday, July 13, 2013

Soekarno Akan Menangis Bila Tahu Kekayaan Papua Habis Dikeruk Amerika



Presiden Soekarno tahu
kapitalisme pertambangan akan
menerkam Indonesia bulat-bulat.
Maka sejak awal Soekarno tak mau
ada pemodal asing berkuasa. Dia
menolak saat para pengusaha
Amerika Serikat hendak membuka
usaha tambang di Papua.

Tahun 1961, Soekarno
berpendapat baru 20 tahun
kemudian pemerintah bisa
mengeluarkan izin perusahaan
tambang asing beroperasi. Berarti
sekitar tahun 1981. Saat itu
Soekarno yakin Indonesia sudah
memiliki ahli-ahli pertambangan
sendiri sehingga tak hanya jadi
jongos, tetapi bisa menjadi rekan.

Para pengusaha asing pun tak bisa
mengeruk kekayaan alam
seenaknya.

Menurut sejarawan Asvi Marwan
Adam, Soekarno benar-benar ingin
sumber daya alam Indonesia
dikelola oleh anak bangsa sendiri.

Asvi menuturkan sebuah arsip di
Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Jakarta mengungkapkan pada 15
Desember 1965 sebuah tim
dipimpin oleh Chaerul Saleh di
Istana Cipanas sedang membahas
nasionalisasi perusahaan asing di
Indonesia.

Soeharto yang mendukung
pemodal asing, datang ke sana
menumpang helikopter. Dia
menyatakan kepada peserta rapat
dia dan Angkatan Darat tidak
setuju rencana nasionalisasi
perusahaan asing itu.
"Soeharto sangat berani saat itu,
Bung Karno juga tidak pernah
memerintahkan seperti itu," kata
Asvi saat dihubungi merdeka.com.

Dalam artikel berjudul JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport
dterbitkan majalah Probe edisi
Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis pada awal November
1965, Langbourne Williams, ketua
dewan direktur Freeport,
menghubungi direktur Freeport,
Forbes Wilson.
Williams menanyakan apakah
Freeport sudah siap melakukan
eksploitasi di Papua. Wilson hampir
tidak percaya mendengar
pertanyaan itu. Dia berpikir
Freeport akan sulit mendapatkan
izin karena Soekarno masih
berkuasa.

Kekuasaan Soekarno berakhir
setelah peristiwa 30 September.

Jenderal Soeharto memulai rezim
baru. Setelah dilantik, Soeharto
segera meneken pengesahan
Undang-undang Penanaman Modal
Asing pada 1967. Freepot menjadi
perusahaan asing pertama yang
kontraknya ditandatangani
Soeharto.

Sejak itulah Freeport mengeruk
kekayaan alam Papua.
Freeport Indonesia telah menjual
915.000 ons atau setara 28,6 ton
emas dan 716 juta pon (358 ribu
ton) tembaga dari tambang
Grasberg di Papua. Hasil penjualan
emas itu menyumbang 91 persen
penjualan emas perusahaan
induknya.

Berdasarkan laporan keuangan
Freeport McMoran, total penjualan
emas Freeport sebanyak 1,01 juta
ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar
pon ( 1,8 juta ton) tembaga.

Penjualan tembaga asal Indonesia
menyumbang seperlima penjualan
komoditas sejenis bagi
perusahaan induknya.
Laba Freeport naik sekitar 16
persen pada kuartal keempat
tahun lalu menjadi USD 743 juta
(Rp 7,2 triliun). Total pendapatan
juga meningkat menjadi USD 4,51
miliar dari USD 4,16 miliar pada
periode sama tahun sebelumnya.

Ironisnya, Freeport hanya
memberikan royalti satu persen
dari hasil penjualan emas dan 3,75
persen masing-masing untuk
tembaga dan perak. Kewajiban
terbilang sangat rendah dibanding
keuntungan diperoleh Freeport.

Kontrak Karya Freeport Indonesia
di tambang Garsberg akan habis
pada 2021. Freeport mendapat
kesempatan memperpanjang
kontrak dua kali 10 tahun setelah
durasi kontrak pertama, 30 tahun,
berakhir. Freeport mendapatkan
hak kelola tambang di Mimika pada
1991. Akankah dengan
renegoisasi Indonesia akan
mendapat sesuatu yang lebih?
Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik terang-
terangan menyebut Freeport
masih enggan membahas
renegosiasi kontrak bagi hasil
tambang. Pemerintah Indonesia
seolah tak berkutik diatur Freeport.

"Renegosiasi itu sulit, diucapkan
saja sulit, apalagi mengerjakan.
Tapi kita berjalan terus dengan
Freeport, Newmont, Vale, dan
tambang-tambang lain," ujar Jero
saat jumpa pers di kantornya,
Rabu (22/5).

Hebatnya Freeport, mereka juga
bisa menolak permintaan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang
akan mengirim menteri ESDM dan
menakertarns mengusut lokasi
longsor tambang yang
menewaskan 28 pekerja. Entah
kenapa SBY menurut saja ketika
Freeport menolak dua pejabat itu.
"Semula menteri ESDM, Tenaga
Kerja akan berangkat ke lokasi.
Tapi permintaan dari Freeport di
Tembagapura, sementara mereka
ingin fokus, konsentrasi untuk
jalankan tugas. Dan memohon
kepada Jakarta agar kehadiran
pejabat dari Jakarta menunggu
beberapa saat sampai situasinya
tepat," kata SBY di Kantor Presiden,
Jakarta, Senin (20/5).

Luar biasa, menolak permintaan
presiden saja Freeport berani.
Kalau Soekarno melihat kekayaan
alam dikeruk luar biasa, pejabat
Indonesia dilecehkan oleh Amerika
Serikat dan kapitalisme mengoyak
Papua, pasti Soekarno akan
menangis

No comments:

Post a Comment